BOGOR – Sidang perkara perbuatan melawan hukum (PMH) nomor 17/Pdt.G/2024/PN Cbi yang digelar di Pengadilan Negeri Cibinong pada Senin, 13 Januari 2025, mengungkap fakta mengejutkan terkait Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) 294 milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Dalam sidang tersebut, saksi ahli yang dihadirkan oleh Turut Tergugat 48 dan 49 menduga sertifikat HGU atas lahan seluas 16 hektar itu tidak sah alias “bodong” karena proses penerbitannya diduga tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sertifikat HGU nomor 294 tersebut diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor pada tahun 2008 dengan total luas lahan mencapai 118 hektar. Adapun lahan seluas 16 hektar yang menjadi pokok perkara dalam sidang ini merupakan bagian dari total luas 118 hektar tersebut.
Dr. Ir. Tjahyo Arianto, S.H., M.Hum., saksi ahli dalam perkara ini, yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), menjelaskan bahwa tanah yang kini dikelola PTPN VIII dulunya merupakan perkebunan milik Belanda yang tidak memiliki HGU sah. Menurutnya, penerbitan sertifikat HGU tersebut seharusnya melalui prosedur yang ketat sesuai regulasi pemerintah. Namun, PTPN VIII diduga tidak memenuhi persyaratan administratif yang diwajibkan.
“Jika ada diktum dalam surat keputusan yang tidak dilaksanakan saat pendaftaran HGU, tetapi sertifikat tetap diterbitkan, maka itu dapat dianggap malpraktik. Sertifikat itu tidak sah atau bodong karena syarat-syaratnya tidak terpenuhi,” ungkapnya.
Dr. Tjahyo juga menyoroti perlindungan hak-hak petani penggarap yang telah lama mengelola tanah tersebut. Dalam penerbitan HGU, penggarap tanah seharusnya dikeluarkan dari proses pengukuran untuk memastikan mereka tidak dirugikan.
“Masyarakat penggarap harus dikeluarkan dari pengukuran HGU. Namun, jika mereka tetap terdaftar dalam HGU dan kemudian dianggap menyerobot, itu jelas merupakan pelanggaran,” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Penggugat, Ardiansyah dari Kantor Hukum Ardiansyah dan Rekan, memaparkan bahwa pihaknya memiliki sejumlah bukti kuat. Bukti tersebut meliputi surat keterangan garapan yang diterbitkan dan dicatat oleh Kepala Desa setempat, surat peralihan garapan, serta bukti penguasaan fisik atas tanah yang masih berlangsung hingga kini.
“Bukti-bukti ini memperkuat klaim klien kami atas tanah tersebut. Kami juga memiliki putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang membatalkan Sertifikat HGU 294,” ujar Ardiansyah.
Sidang berikutnya dijadwalkan berlangsung pada 3 Februari 2025. Pihak Penggugat berencana menghadirkan bukti tambahan, termasuk putusan perkara lain yang relevan dengan keabsahan sertifikat HGU tersebut. Persidangan ini menjadi momentum penting untuk menentukan legalitas Sertifikat HGU 294 serta memberikan keadilan bagi masyarakat yang telah lama menggarap tanah tersebut.