Bogor,23 Mei 2025| Maraknya praktik pemasangan jaringan WiFi ilegal di sejumlah wilayah perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor menuai sorotan publik. Aktivitas penarikan kabel WiFi tanpa izin resmi diduga dilakukan oleh pihak-pihak yang mengabaikan aturan, bahkan dikabarkan melibatkan oknum aparat pemerintah setempat.
Salah satu kejadian terpantau di sekitar wilayah Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di dekat PT Yongjin, pada 12 Mei 2025 pukul 22.18 WIB. Penarikan kabel dilakukan pada malam hari oleh sekelompok orang yang mengklaim telah memiliki izin dari Desa Cigombong, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.
Namun, aktivitas tersebut berada di luar wilayah administratif Cigombong, menimbulkan tanda tanya soal legalitasnya. Saat dikonfirmasi oleh awak media Jurnal Media, salah satu pihak berinisial ‘F’ yang berada di lokasi menyebut bahwa kegiatan tersebut sudah dikoordinasikan dan mendapat izin, bahkan menyebut nama ‘H’ sebagai oknum anggota Satpol PP Kecamatan Cigombong yang diduga turut terlibat.
Dalam percakapan via pesan WhatsApp, ‘F’ menyampaikan pernyataan yang dinilai tidak pantas dan terkesan meremehkan profesi wartawan. Ia juga sempat mengajak bertemu santai di Desa Wates Jaya bersama ‘H’, alih-alih memberikan klarifikasi resmi.
“Kalau mau minta (izin) ke pengawas kita aja, Pak Tedy, nanti temuin saya di desa aja jam kerja,” tulis ‘F’ dalam salah satu pesan yang diterima wartawan.
Upaya untuk mengonfirmasi langsung ke kantor Desa Wates Jaya pun tak membuahkan hasil. Baik ‘F’ maupun ‘H’ tidak berada di tempat dan sulit dihubungi. Namun, Kepala Desa Wates Jaya membenarkan bahwa ‘H’ memang merupakan anggota Satpol PP yang bertugas di Kecamatan Cigombong.
Menurut aturan yang berlaku, pemasangan jaringan internet wajib memiliki izin usaha resmi melalui sistem Online Single Submission (OSS), serta izin pemasangan dari dinas terkait. Pelaku usaha WiFi yang menumpang di tiang Telkom atau fasilitas publik tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1,5 miliar, atau sanksi administratif seperti pembekuan dan pencabutan izin usaha.
Kasus ini menjadi perhatian penting bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, mengingat risiko pelanggaran hukum serta potensi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat.