Bogor,28 Agustus 2024 – Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014, pengadaan seragam sekolah seharusnya diusahakan sendiri oleh orang tua siswa.
Aturan ini juga menegaskan bahwa pengadaan seragam tidak boleh dikaitkan dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB) maupun kenaikan kelas. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda.
Di SMPN 1 Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, muncul kontroversi terkait pengadaan seragam sekolah. Sekolah ini diketahui menjual seragam batik dan setelan baju olahraga dengan harga yang dianggap fantastis oleh beberapa orang tua siswa.
Salah satu orang tua siswa yang anaknya baru masuk SMPN 1 Caringin mengungkapkan bahwa dalam rapat orang tua siswa yang dihadiri oleh staf dewan guru dan komite sekolah, dibahas mengenai seragam batik, setelan baju olahraga, dan baju muslim.
Total harga yang ditetapkan untuk ketiga jenis seragam tersebut mencapai Rp. 900.000,00 dan dapat dicicil selama tiga bulan.
“Anak saya baru masuk SMPN 1 Caringin. Kemarin, saat rapat orang tua siswa yang dihadiri oleh staf dewan guru dan komite sekolah, dibahas soal seragam batik, setelan baju olahraga, dan baju muslim. Total harganya Rp. 900.000,00 dan boleh dicicil selama tiga bulan,” ujar salah satu wali murid.
Pihak sekolah, melalui Humas yang ditemui pada Rabu (28/08/2024), membenarkan adanya kebijakan tersebut. Menurut Humas, seragam batik dan olahraga tidak bisa dibeli di luar sekolah karena dikhawatirkan akan berbeda-beda dan tidak seragam. Oleh karena itu, sekolah menyediakan konfeksi khusus untuk membuat seragam tersebut dan menjualnya kepada wali murid.
“Benar, saat rapat orang tua siswa baru kami membahas soal seragam batik dan olahraga. Karena tidak bisa dibeli di luar, kalau masing-masing beli di luar nanti jadi beda-beda, tidak seragam. Makanya kami menyediakan konfeksi khusus untuk membuat seragam tersebut. Yang menjualkan konfeksi kepada wali murid bukan kami,” jelas Humas.
Humas juga menambahkan bahwa meskipun transaksi terjadi di sekolah, pihak sekolah hanya bertindak sebagai perantara antara wali murid dan konfeksi.
“Iya, benar kami yang menunjuk konfeksinya. Uangnya pun memang kami yang terima, tapi hanya sebatas penyambung antara wali murid dengan konfeksi. Meskipun transaksinya terjadi di sekolah,” sambungnya.
Kontroversi ini menimbulkan berbagai reaksi dari orang tua siswa. Beberapa merasa keberatan dengan harga yang ditetapkan, sementara yang lain memahami alasan di balik kebijakan tersebut.
Namun, yang jelas, kasus ini menunjukkan perlunya transparansi dan komunikasi yang lebih baik antara pihak sekolah dan orang tua siswa dalam hal pengadaan seragam sekolah.