Lebak, 1 Desember 2024 – Kasus penjualan pupuk bersubsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) kembali terjadi di Kampung Ciakar, Desa Ciakar, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Seorang penjual pupuk bersubsidi dengan inisial Hj (S) diduga menjual pupuk dengan harga Rp180.000 per karung ukuran 50 kg, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah.
Tindakan ini tidak hanya melanggar peraturan pemerintah, tetapi juga membebani masyarakat dengan harga pupuk yang sangat mahal.
Menurut keterangan warga Kampung Ciakar, mereka membeli pupuk NPK seharga Rp180.000 dan Urea seharga Rp160.000 per karung dari warung milik Hj (S). “Kami suka beli dari warungnya Pak Haji (S), itu warungnya yang di bawah itu,” ungkap seorang warga kepada awak media.
Dari narasumber lain, inisial (E), warga Kampung Ciakar, menyampaikan bahwa ibunya sering membeli pupuk dengan harga Rp300.000 atau Rp200.000 per karung.
“Kalau beli kiloan biasanya Rp5.000 per kg, belinya itu di warung Hj (S), istrinya Ibu Hj inisial (A),” tutur (E) kepada awak media.
Saat dikonfirmasi, Hj (S) menjelaskan bahwa ia menjual pupuk seharga Rp160.000 per karung karena ia membelinya dari kios resmi seharga Rp150.000.
“Saya cuma mengambil untung Rp10.000 untuk ongkos saja, karena kami kasihan juga ke masyarakat dan kami pun suka diutang, kadang bayarnya lama, banyak juga yang tidak bayar-bayar,” ujar Hj (S). Ia menyarankan masyarakat untuk membeli langsung ke kios resmi di Kampung Cikole.
Pak RW inisial (U), yang juga pengecer pupuk bersubsidi di Kampung Cikadu, Desa Ciakar, mengakui bahwa ia menjual pupuk seharga Rp170.000 hingga Rp180.000 per karung.
“Dari kios resmi atas nama Ibu (Iah) sudah Rp150.000 per karung. Saya cuma nebus paling 10 sampai 15 karung saja, itupun kalau ada punya masyarakat yang tidak ditebus,” jelasnya. Ia juga menjual pupuk per kg seharga Rp4.000.
Menjual pupuk bersubsidi di atas HET merupakan tindakan pidana dan administratif. Sanksi pidana untuk pelanggaran ini diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, dengan ancaman pidana 5 tahun dan denda Rp2 miliar. Kami selaku awak media meminta pihak-pihak terkait, termasuk Menteri Pertanian dan Aparat Penegak Hukum (APH), untuk segera menindak tegas pelanggaran ini sesuai hukum yang berlaku.