Scroll untuk baca artikel
Journal-Media-nes
https://www.effectiveratecpm.com/zq4s6cex?key=1e1190f2e60de2e28cae5a341d9fb94d
Keamanan-Cyber

Nasional

Pemerintah dan DPR Sepakat RUU MK,Constitutional and Administrative Law Society: Autocratic Legalism Untuk Kepentinga Penguasa

159
×

Pemerintah dan DPR Sepakat RUU MK,Constitutional and Administrative Law Society: Autocratic Legalism Untuk Kepentinga Penguasa

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI telah menyepakati rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kesepakatan perihal revisi UU MK itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto pada Senin, 13 Mei 2024.

Pembahasan RUU MK digelar secara diam-diam pada hari terakhir reses atau 13 Mei lalu. Pengesahan revisi UU MK di tahap pertama ini mendapat penolakan dari berbagai kalangan, antara lain karena dianggap bisa melemahkan independensi MK.

Red-and-Black-Bold-Minimalist-News-Update-Instagram-Reels-Video

Constitutional and Administrative Law Society atau CALS menolak revisi keempat atas UU MK oleh Komisi Hukum DPR. CALS menyatakan revisi tersebut sebagai autocratic legalism, yaitu penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan kekuasaan.

Anggota CALS, Herdiansyah Hamzah, mengatakan perlawanan mesti dilakukan, karena proses legislasi DPR belakangan ini cenderung melabrak seluruh prinsip umum dalam pembentukan UU, serta lebih mementingkan syahwat politik saja

“Kami pertimbangkan uji materi juga,” kata pengajar di Universitas Mulawarman ini saat dihubungi pada Selasa, 21 Mei 2024.

Dia menyebutkan proses revisi sarat akan kepentingan politik penguasa dan tak lain menjadi upaya menyandera UU guna memuluskan jalannya pemerintahan baru.

“Kejar tayang revisi yang dilakukan saat ini adalah desain untuk mengamankan pemerintahan,” ujar Herdiansyah.

Misalnya, pada revisi UU MK, merujuk pada draf RUU MK yang telah disetujui DPR dan pemerintah dan diperoleh Tempo, disebutkan pada Pasal 23A, masa jabatan hakim konstitusi diatur menjadi 10 tahun.

Namun, pada Ayat (2) Pasal 23A ini, hakim konstitusi setelah 5 tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul guna memperoleh persetujuan untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya. “Ini seperti upaya untuk mengendalikan hakim konstitusi,” kata Herdiansyah.

Dengan adanya kewajiban setiap 5 tahun bagi hakim konstitusi memperoleh rekomendasi untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya tersebut, Herdiansyah melanjutkan, MK tentu telah dikooptasi agar dapat sejalan dengan agenda kepentingan lembaga pengusulnya.

Baca Juga  Hindari Permainan Het,Satgasus Anti Korupsi Polri Cek Distribusi Pupuk Subsidi

Menurut dia, pengesahan revisi UU MK dengan muatan pasal seperti ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dapat memberhentikan hakim di tengah masa jabatan atas dasar persetujuan lembaga pengusul. “Ini tidak masuk akal,” ujar dia.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyoroti perubahan keempat UU MK yang telah disepakati di tingkat pertama.

“Pasti (hakim konstitusi) enggak merdeka lah. Pasti enggak independen,” kata Palguna di lansir Tempo di kantornya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 17 Mei 2024.

Dengan adanya kewajiban setiap 5 tahun bagi hakim konstitusi memperoleh rekomendasi untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya tersebut, Herdiansyah melanjutkan, MK tentu telah dikooptasi agar dapat sejalan dengan agenda kepentingan lembaga pengusulnya.

Menurut dia, pengesahan revisi UU MK dengan muatan pasal seperti ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dapat memberhentikan hakim di tengah masa jabatan atas dasar persetujuan lembaga pengusul. “Ini tidak masuk akal,” ujar dia.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyoroti perubahan keempat UU MK yang telah disepakati di tingkat pertama.

“Pasti (hakim konstitusi) enggak merdeka lah. Pasti enggak independen,” kata Palguna saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 17 Mei 2024.

Mantan hakim konstitusi ini menuturkan revisi UU MK berdampak khususnya pada hakim yang ingin melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun. Dinukil dari draf revisi UU MK, Pasal 23A ayat (1) mengatur masa jabatan hakim konstitusi adalah 10 tahun.

Pasal 23A ayat (2) menyatakan, setelah 5 tahun, hakim konstitusi dikembalikan kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden, atau Mahkamah Agung) untuk mendapatkan persetujuan melanjutkan jabatannya.

Pasal 87 juga membahas soal peralihan hakim MK. Pasal 87 ayat (1) menjelaskan hakim konstitusi yang telah menjabat 5 tahun tapi belum 10 tahun, hanya bisa melanjutkan jabatannya setelah mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul

Baca Juga  Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2024: Aparat Antisipasi Lalu Lintas

“Terlepas dari hakimnya merdeka atau tidak, berintegritas atau tidak, substansi (revisi UU MK) itu sudah mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman,” ujar Palguna. “Karena itu, revisi UU MK memang dimaksudkan by design untuk mengontrol Mahkamah Konstitusi.”

Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan revisi UU MK tak hanya menjadi ancaman bagi independensi lembaga peradilan, tetapi juga ancaman sangat serius bagi Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, kata dia, fondasi pokok Indonesia adalah independensi lembaga peradilan.

“Kalau lembaga peradilan kehilangan independensinya, maka tamatlah riwayat negara hukum itu,” kata Hamdan dalam diskusi ‘Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi’ pada Kamis, 16 Mei 2024.

Hamdan mengatakan pintu masuk yang mengancam fondasi negara hukum biasanya berkaitan dengan proses rekrutmen hakim, masa jabatan hakim, dan hal-hal lain di luar masalah kewenangan hakim.

Dia mengatakan UU MK sebelumnya telah tiga kali diubah. Poin utama dari seluruh perubahan itu, kata Hamdan, adalah masalah masa jabatan dan pengawasan hakim. Dua hal ini yang menjadi masalah bagi independensi MK.

Melalui revisi terbaru, Hamdan menilai hakim MK akan bergantung pada lembaga pengusul karena, dalam revisi UU MK terbaru, masa jabatan hakim MK maksimal 10 tahun. Namun, setelah menjalani lima tahun pertama, hakim MK perlu mendapatkan persetujuan untuk menjalani lima tahun berikutnya dari lembaga pengusul.

Dia mengatakan aturan sebelumnya lebih memberikan kepastian masa jabatan hakim. Hakim MK mendapatkan kesempatan diangkat kembali tanpa adanya persetujuan. Sementara, dalam revisi UU MK terbaru, Hamdan menilai kepastian jabatan hakim MK tidak jelas.

“Sehingga sangat besar ruangnya ketentuan mengenai persetujuan ini akan berdampak pada independensi dari hakim konstitusi itu sendiri,” ucapnya.

 

Konten-Facebook-Berita-Umum-Kutipan-Merah-Putih-1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Optimized by Optimole